SARANA PÛJÂ
By Anton Sujarwoko & Hendra Dharmasusila
By Anton Sujarwoko & Hendra Dharmasusila
v Sarana Fisik Pelaksanaan Pûjâ
1. Paritta Paritta pada pokoknya berarti
perlindungan, perlindungan ini didapat dengan cara membaca atau mendengarkan
paritta sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha). Pembacaan paritta menimbulkan
ketenangan batin bagi mereka yang mendengarkan dan yang telah mempunyai
keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang Buddha. Ketenangan itu membuat batin
menjadi bahagia sehingga mampu mengatasi keresahan. Umat Buddha meyakini bahwa
paritta merupakan kekuatan yang dahsyat dan selalu dapat dimanfaatkan. Meskipun
demikian, paritta tidak selalu mampu menghasilkan perlindungan serta berkah
sesuai yang dikehendaki. Pembacaan paritta tidak berhasil karena ada 3 sebab,
yaitu halangan kamma (ada kamma-kamma tertentu yang tidak dapat
dihalangi dengan kekuatan apapun), halangan kekotoran batin (batin orang yang
dibacakan paritta atau batin orang yang membaca paritta diliputi oleh
keragu-raguan, nafsu, dan lain-lain), dan kurang keyakinan kepada kemanjuran
paritta itu.
2.Vihara Vihara merupakan tempat
untuk melaksanakan pûjâ, biasanya merupakan komplek bangunan yang lengkap, di
mana setiap bangunan itu mempunyai fungsi tersendiri. Bangunan-bangunan itu
diantaranya adalah: (1) Uposathagara yaitu suatu banguan induk yang digunakan
untuk kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya misalnya
upacara penahbisan seseorang menjadi bhikkhu, pembacaan aturan kebhikkhuan, dan
rehabilitasi kesalahan sedang dari para bhikkhu; (2) Dhammasala adalah tempat
untuk pembacaan paritta, diskusi dan pembabaran Dhamma, meditasi, dan
upacara-upacara lainnya. Jika tidak memungkinkan membangun dua gedung, maka
Uposathagara dapat digunakan sebagai Dhammasala. Selain itu di dalam komplek
vihara biasanya juga terdapat Pohon Bodhi yang mengingatkan pencapaian
penerangan sempurna oleh Petapa Gotama.
3. Cetya Cetya adalah tempat untuk
meletakkan lambang-lambang kesucian dan kebijaksanaan Buddha, misalnya Buddha rupaæ
yang menyimbolkan nilai-nilai luhur Sang Buddha; lilin menyimbolkan penerangan
yang diajarkan oleh sang Buddha; dupa melambangkan nama harum dari orang yang
memiliki sila; bunga melambangkan ketidakkekalan; air melambangkan pembersihan
dari segala kekotoran; buah melambangkan perwujudan rasa hormat kepada Sang
Buddha.
4. Stupa Stupa adalah tempat untuk menyimpan
relik Buddha, para Arahat siswa Buddha. Sikap
Fisik dalam melaksanakan pûjâ biasanya adalah dengan ber-anjali
(merangkapkan kedua tangan di depan dada), namakara (bersujud tiga kali
dengan lima titik menyentuh lantai) ataupun padakhina (tangan beranjali,
berjalan mengelilingi obyek penghormatan dari kiri kekanan, dilakukan tiga kali
dengan pikiran tertuju pada Tiratana.
v Persiapan Batin
Dalm
pelaksanaan pûjâ baik perseorangan atau kelompok, maka yang melaksanakan pûjâ
perlu mempersiapkan batinnya untuk dipusatkan kepada obyek tertinggi yaitu
Tiratana.
a. Buddha dihormati sebagai obyek tertinggi karena kata Buddha yang
dimaksud adalah mencakup pengertian pencapaian penerangan sempurna. Buddha
dalam hal ini bukanlah sebagai pribadi orang tetapi kesucian itu sendiri. Namun
demikian Buddha sebagai pribadi Buddha Gotama juga dihormati karena beliau
adalah guru, penunjuk jalan menuju kepembebasan, pembimbing manusia hingga
tercapainya Nibbana.
b. Dhamma dihormati sebagai obyek tertinggi karena yang dimaksud
adalah kebenaran mutlak. Dhamma ini akan menuntun orang yang melaksanakannya
menuju kepembebasan.
c. Sangha dihomati sebagai obyek tertinggi karena merupakan pasamuan
para makhluk suci (Ariya Puggala) mereka telah mencapai tujuan atau telah
memasuki jalan untuk mencapai tujuan (Nibbana), mereka menjadi contoh dari
perjuangan suci.
Dengan
pemusatan kepada Tiratana ini kita memusatkan pikiran kepada satu kebenaran
mutlak.
v Macam-macam Penghormatan
Dalam agama Buddha, ada dua macam penghormatan, yaitu:
1. Amisa pûjâ
Amisa pûjâ
berarti memuja dengan materi. Ada empat hal yang diperlu diperhatikan dalam
cara memuja ini : (1) Sakkara memberikan persembahan materi yaitu bunga,
wewangian, perhiasan, lilin, dupa dan kebutuhan hidup sehari-hari. (2) Garukara
menaruh kasih serta rasa bakti terhadap nilai-nilai luhur yang terkandnug di
dalam objek pemujaan. (3) Manana memperlihatkan rasa percaya berdasarkan
pengertian benar. (4) Vedana mengungkapkan ungkapan atau kata sanjungan.
Selain itu juga, ada tiga hal yang harus
dipenuhi agar penghormatan dapat diterapkan dengan baik. Tiga hal itu meliputi:
(1) Vatthu sampada, yaitu kesempurnaan dalam materi, dalam arti materi
yang dipersembahkan harus diperoleh dengan baik, tidak menyimpang dari tatanan
yang dibuat oleh masyarakat. (2) Cetana sampada, yaitu kesempurnaan
dalam kehendak, dalam arti mempunyai hati yang tulus dalam memberikan
penghormatan. (3) Dakkhineyya sampada, yaitu kesempurnaan dalam objek
penghormatan, dalam arti objek yang dipuja memang patut dipuja.
2. Patipati
pûjâ
Patipati
pûjâ secara harfiah berarti memuja dengan praktek, yaitu dengan melakukan
penghormatan dengan cara mempraktekkan ajaran sang Buddha.
v Pengaturan Cetya
Pengaturan sebuah cetya merupakan sarana
untuk pûjâ. Cetya yang pengaturannya menarik menciptakan suasana khimat. Cetya
sebagai objek pûjâ memerlukan seperangkat alat-alat, yaitu: Buddha rupaæ,
tempat lilin, tempat dupa, tempat bunga, serta beberapa penghias cetya lainnya.
Banyak orang mengira bahwa lengkapnya alat-alat tersebut akan menumbuhkan
hasrat untuk bersembahyang bagi orang yang melihatnya. Perasangkaan itu belum
tepat benar pada intinya pengaturan cetya adalah bagaimana menampilkan bagian
yang terpenting semaksimal mungkin. Pengturan sebuah cetya sebaiknya mampu
menampilkan sebanyak mungkin unsur simbolis tanpa harus memenuhi cetya dengan
barang-barang yang berlebihan. Peralatan dasar yang diperlukan dalam menyusun
cetya itu akan di uraikan satu persatu secara singkat:
a. Buddha rupaæ, dalam sebuah cetya hendaknya tidak terlalu banyak
ditempatkan Buddha rupaæ. Biasanya jumlah yang ideal antara satu sampai tiga.
Penempatannya harus di tempat yang tinggi pada cetiya itu. Dalam penempatan
rupaæ, dapat ditempatkan diatas meja tunggal atau bersusun.
Bila tidak ada Buddha rupaæ boleh
menggunakan gambar, ini megingat bahwa kita tidak melekat pada Buddha rupaæ.
b. Tempat dupa, biasanya
tempat dupa ditempatkan ditengah-tengah cetya.
c. Tempat lilin, pada umumnya tempat lilin (sepasang) ditempatkan di
kanan dan kiri tempat dupa. Jumlah tidak tentu, mengingat pemasangan ini hanya
merupakan lambang penerangan.
d. Tempat bunga, bunga sebagai lambang ketidak kekalan, merupakan
hiasan altar. Faktor yang penting dalam pengaturan bunga adalah menghindari
peletakan bunga terlalu banyak di cetya.
Referensi
1. Buku pelajaran agama Buddha SLTA kelas 2, penerbit paramaita,
Surabaya 2005
2. Buku Menjadi Pelita Hati. Judul Asli Be A Lamp Uppon Yourself. Diterbitkan
pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Seksi Penerbit Pemuda Vihara Vimala
Dharma, Bandung)
diposting oleh Hendra.
0 comments:
Posting Komentar