Rabu, 09 Mei 2012

SARANA PÛJÂ

SARANA PÛJÂ
By Anton Sujarwoko & Hendra Dharmasusila

v Sarana Fisik Pelaksanaan Pûjâ

1.   Paritta                                                                              Paritta pada pokoknya berarti perlindungan, perlindungan ini didapat dengan cara membaca atau mendengarkan paritta sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha). Pembacaan paritta menimbulkan ketenangan batin bagi mereka yang mendengarkan dan yang telah mempunyai keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang Buddha. Ketenangan itu membuat batin menjadi bahagia sehingga mampu mengatasi keresahan. Umat Buddha meyakini bahwa paritta merupakan kekuatan yang dahsyat dan selalu dapat dimanfaatkan. Meskipun demikian, paritta tidak selalu mampu menghasilkan perlindungan serta berkah sesuai yang dikehendaki. Pembacaan paritta tidak berhasil karena ada 3 sebab, yaitu halangan kamma (ada kamma-kamma tertentu yang tidak dapat dihalangi dengan kekuatan apapun), halangan kekotoran batin (batin orang yang dibacakan paritta atau batin orang yang membaca paritta diliputi oleh keragu-raguan, nafsu, dan lain-lain), dan kurang keyakinan kepada kemanjuran paritta itu.

2.Vihara                                                                            Vihara merupakan tempat untuk melaksanakan pûjâ, biasanya merupakan komplek bangunan yang lengkap, di mana setiap bangunan itu mempunyai fungsi tersendiri. Bangunan-bangunan itu diantaranya adalah: (1) Uposathagara yaitu suatu banguan induk yang digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya misalnya upacara penahbisan seseorang menjadi bhikkhu, pembacaan aturan kebhikkhuan, dan rehabilitasi kesalahan sedang dari para bhikkhu; (2) Dhammasala adalah tempat untuk pembacaan paritta, diskusi dan pembabaran Dhamma, meditasi, dan upacara-upacara lainnya. Jika tidak memungkinkan membangun dua gedung, maka Uposathagara dapat digunakan sebagai Dhammasala. Selain itu di dalam komplek vihara biasanya juga terdapat Pohon Bodhi yang mengingatkan pencapaian penerangan sempurna oleh Petapa Gotama.

3.   Cetya                                                                              Cetya adalah tempat untuk meletakkan lambang-lambang kesucian dan kebijaksanaan Buddha, misalnya Buddha rupaæ yang menyimbolkan nilai-nilai luhur Sang Buddha; lilin menyimbolkan penerangan yang diajarkan oleh sang Buddha; dupa melambangkan nama harum dari orang yang memiliki sila; bunga melambangkan ketidakkekalan; air melambangkan pembersihan dari segala kekotoran; buah melambangkan perwujudan rasa hormat kepada Sang Buddha.

4.   Stupa                                                                               Stupa adalah tempat untuk menyimpan relik Buddha, para Arahat siswa Buddha. Sikap Fisik dalam melaksanakan pûjâ biasanya adalah dengan ber-anjali (merangkapkan kedua tangan di depan dada), namakara (bersujud tiga kali dengan lima titik menyentuh lantai) ataupun padakhina (tangan beranjali, berjalan mengelilingi obyek penghormatan dari kiri kekanan, dilakukan tiga kali dengan pikiran tertuju pada Tiratana.

v Persiapan Batin

Dalm pelaksanaan pûjâ baik perseorangan atau kelompok, maka yang melaksanakan pûjâ perlu mempersiapkan batinnya untuk dipusatkan kepada obyek tertinggi yaitu Tiratana.
a.   Buddha dihormati sebagai obyek tertinggi karena kata Buddha yang dimaksud adalah mencakup pengertian pencapaian penerangan sempurna. Buddha dalam hal ini bukanlah sebagai pribadi orang tetapi kesucian itu sendiri. Namun demikian Buddha sebagai pribadi Buddha Gotama juga dihormati karena beliau adalah guru, penunjuk jalan menuju kepembebasan, pembimbing manusia hingga tercapainya Nibbana.
b.  Dhamma dihormati sebagai obyek tertinggi karena yang dimaksud adalah kebenaran mutlak. Dhamma ini akan menuntun orang yang melaksanakannya menuju kepembebasan.
c.   Sangha dihomati sebagai obyek tertinggi karena merupakan pasamuan para makhluk suci (Ariya Puggala) mereka telah mencapai tujuan atau telah memasuki jalan untuk mencapai tujuan (Nibbana), mereka menjadi contoh dari perjuangan suci.
Dengan pemusatan kepada Tiratana ini kita memusatkan pikiran kepada satu kebenaran mutlak.


v Macam-macam Penghormatan

Dalam agama Buddha, ada dua macam penghormatan, yaitu:
1. Amisa pûjâ
Amisa pûjâ berarti memuja dengan materi. Ada empat hal yang diperlu diperhatikan dalam cara memuja ini : (1) Sakkara memberikan persembahan materi yaitu bunga, wewangian, perhiasan, lilin, dupa dan kebutuhan hidup sehari-hari. (2) Garukara menaruh kasih serta rasa bakti terhadap nilai-nilai luhur yang terkandnug di dalam objek pemujaan. (3) Manana memperlihatkan rasa percaya berdasarkan pengertian benar. (4) Vedana mengungkapkan ungkapan atau kata sanjungan.

Selain itu juga, ada tiga hal yang harus dipenuhi agar penghormatan dapat diterapkan dengan baik. Tiga hal itu meliputi: (1) Vatthu sampada, yaitu kesempurnaan dalam materi, dalam arti materi yang dipersembahkan harus diperoleh dengan baik, tidak menyimpang dari tatanan yang dibuat oleh masyarakat. (2) Cetana sampada, yaitu kesempurnaan dalam kehendak, dalam arti mempunyai hati yang tulus dalam memberikan penghormatan. (3) Dakkhineyya sampada, yaitu kesempurnaan dalam objek penghormatan, dalam arti objek yang dipuja memang patut dipuja.

2. Patipati pûjâ                                                                                                                                                                     Patipati pûjâ secara harfiah berarti memuja dengan praktek, yaitu dengan melakukan penghormatan dengan cara mempraktekkan ajaran sang Buddha.

v Pengaturan Cetya

Pengaturan sebuah cetya merupakan sarana untuk pûjâ. Cetya yang pengaturannya menarik menciptakan suasana khimat. Cetya sebagai objek pûjâ memerlukan seperangkat alat-alat, yaitu: Buddha rupaæ, tempat lilin, tempat dupa, tempat bunga, serta beberapa penghias cetya lainnya. Banyak orang mengira bahwa lengkapnya alat-alat tersebut akan menumbuhkan hasrat untuk bersembahyang bagi orang yang melihatnya. Perasangkaan itu belum tepat benar pada intinya pengaturan cetya adalah bagaimana menampilkan bagian yang terpenting semaksimal mungkin. Pengturan sebuah cetya sebaiknya mampu menampilkan sebanyak mungkin unsur simbolis tanpa harus memenuhi cetya dengan barang-barang yang berlebihan. Peralatan dasar yang diperlukan dalam menyusun cetya itu akan di uraikan satu persatu secara singkat:
a.     Buddha rupaæ, dalam sebuah cetya hendaknya tidak terlalu banyak ditempatkan Buddha rupaæ. Biasanya jumlah yang ideal antara satu sampai tiga. Penempatannya harus di tempat yang tinggi pada cetiya itu. Dalam penempatan rupaæ, dapat ditempatkan diatas meja tunggal atau bersusun.
Bila tidak ada Buddha rupaæ boleh menggunakan gambar, ini megingat bahwa kita tidak melekat pada Buddha rupaæ.
b.   Tempat dupa, biasanya tempat dupa ditempatkan ditengah-tengah cetya.

c.     Tempat lilin, pada umumnya tempat lilin (sepasang) ditempatkan di kanan dan kiri tempat dupa. Jumlah tidak tentu, mengingat pemasangan ini hanya merupakan lambang penerangan.

d.    Tempat bunga, bunga sebagai lambang ketidak kekalan, merupakan hiasan altar. Faktor yang penting dalam pengaturan bunga adalah menghindari peletakan bunga terlalu banyak di cetya.

Referensi
1.   Buku pelajaran agama Buddha SLTA kelas 2, penerbit paramaita, Surabaya 2005
2.   Buku Menjadi Pelita Hati. Judul Asli Be A Lamp Uppon Yourself. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Seksi Penerbit Pemuda Vihara Vimala Dharma, Bandung)

diposting oleh Hendra.

0 comments: