Pūjâ Ca Pūjanîyânaṁ
Etammaõgalamuttamaṁ
(Memuja Mereka Yang Patut Di Puja Adalah Berkah Utama)
__Maõgala Sutta__
I. Sejarah Puja
1.1 Sejarah Puja pada Zaman Prabuddha
Puja dalam zaman prabuddha lebih bermakna sebagai
persembahan kepada para dewa. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan hewan,
bahkan mengorbankan manusia kepada para dewa.
Sejarah puja kepada para dewa ini diawali dengan munculnya
ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada makhluk dewa yang berkuasa
atau mengatur segala sesuatu yang akan diterima oleh manusia. Dengan alasan
itu, para brahmin menciptakan sarana puja kepada dewa-dewa dengan jalan
upacara-upacara kurban. Tujuannya adalah dengan kurban yang diberikan kepada
para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak menjatuhkan malapetaka bagi
manusia.
1.2 Sejarah Puja pada Zaman Sang Buddha
Puja pada zaman Sang Buddha memiliki arti yang berbeda,
yaitu menghormat. Pada masa Buddha terdapat suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
para bhikkhu yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru
Buddha yaitu dengan membersihkan ruangan, mengisi air dan lain-lain. Setelah
selesai melaksanakan kewajiban itu, mereka semua (para bhikkhu) dan umat duduk,
untuk mendengarkan khotbah dari Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah,
para bhikkhu mengingatnya atau menghafal agar kemanapun mereka pergi, ajaran
Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya.
Pada hari bulan gelap dan terang (purnama) para bhikkhu
berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan atau patimokkha yang harus
dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh
seorang bhikkhu yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan
patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul untuk mendengarkan khotbah.
Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi dipertengahan antara bulan gelap
dan bulan terang, mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan khotbah.
Namun, bila Buddha ada di vihara, umat datang untuk mendengarkan khotbah setiap
hari.
Para umat biasanya juga melakukan puja (penghormatan) kepada
Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga, lilin, dupa, dan lain-lain. Namun,
Sang Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dhamma yang telah Beliau ajarkan
merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Sang Buddha
mencegah bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.
1.3 Sejarah Puja pada Zaman Pasca Buddha
Setelah Sang Buddha Parinibanna, umat tetap berkumpul, lalu
untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Sang Buddha atau merenungkan
kebajikan-kebajikan Tiratana. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk
menggantikan kebiasaan vattha. Sebagai pengganti khotbah Buddha, para
bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain
yang dilakukan oleh para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore
(malam) mereka mengucapkan paritta yang telah mereka hafal. Kebiasaan para
bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.
Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut
dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu, sama dengan
zaman Sang Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dhamma ajaran
Sang Buddha sebagai penghormatan tertinggi.
II. Sarana Puja
2.1 Sarana Fisik Pelaksanaan Puja
Sarana fisik yang diperlukan dalam pelaksanaan puja
meliputi:
1. Paritta
Paritta pada pokoknya berarti perlindungan, perlindungan ini
didapat dengan cara membaca atau mendengarkan paritta sutta (khotbah-khotbah
Sang Buddha). Pembacaan paritta menimbulkan ketenangan batin bagi mereka yang
mendengarkan dan yang telah mempunyai keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang
Buddha. Ketenangan itu membuat batin menjadi bahagia sehingga mampu mengatasi
keresahan. Umat Buddha meyakini bahwa paritta merupakan kekuatan yang dahsyat
dan selalu dapat dimanfaatkan. Meskipun demikian, paritta tidak selalu mampu
menghasilkan perlindungan serta berkah sesuai yang dikehendaki. Pembacaan
paritta tidak berhasil karena ada 3 sebab, yaitu halangan kamma (ada
kamma-kamma tertentu yang tidak dapat dihalangi dengan kekuatan apapun),
halangan kekotoran batin (batin orang yang dibacakan paritta atau batin orang
yang membaca paritta diliputi oleh keragu-raguan, nafsu, dan lain-lain), dan
kurang keyakinan kepada kemanjuran paritta itu.
1. Vihara
Vihara merupakan tempat untuk melaksanakan puja, biasanya merupakan
komplek bangunan yang lengkap, di mana setiap bangunan itu mempunyai fungsi
tersendiri. Bangunan-bangunan itu diantaranya adalah: (1) Uposathagara yaitu
suatu banguan induk yang digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan
penerangan vinaya misalnya upacara penahbisan seseorang menjadi bhikkhu,
pembacaan aturan kebhikkhuan, dan rehabilitasi kesalahan sedang dari para
bhikkhu; (2) Dhammasala adalah tempat untuk pembacaan paritta, diskusi dan
pembabaran Dhamma, meditasi, dan upacara-upacara lainnya. Jika tidak
memungkinkan membangun dua gedung, maka Uposathagara dapat digunakan sebagai
Dhammasala. Selain itu di dalam komplek vihara biasanya juga terdapt Pohon
Bodhi yang mengingatkan pencapaian penerangan sempurna oleh Petapa Gotama.
1. Altar
Altar adalah tempat untuk meletakkan lambang-lambang
kesucian dan kebijaksanaan Buddha, misalnya Buddharupaÿ yang menyimbolkan
nilai-nilai luhur Sang Buddha; lilin menyimbolkan penerangan yang diajarkan
oleh sang Buddha; dupa melambangkan nama harum dari orang yang memiliki sila;
bunga melambangkan ketidakkekalan; air melambangkan pembersihan dari segala
kekotoran; buah melambangkan perwujudan rasa hormat kepada Sang Buddha.
1. Stupa
Stupa adalah tempat untuk menyimpan relik Buddha, para
Arahat siswa Buddha.
Sikap Fisik dalam melaksanakan puja biasanya adalah dengan
ber-anjali (merangkapkan kedua tangan di depan dada), namakara
(bersujud tiga kali dengan lima titik menyentuh lantai) ataupun padakhina
(tangan beranjali, berjalan mengelilingi obyek penghormatan dari kiri kekanan,
dilakukan tiga kali dengan pikiran tertuju pada Tiratana.
2.2 Persiapan Batin
Baik perseorangan atau kelompok, maka yang melaksanakan puja
pelu mempersiapkan batinnya untuk dipusatkan kepada obyek tertinggi yaitu
Tiratana.
a) Buddha dihormati sebagai
obyek tertinggi karena kata Buddha yang dimaksud adalah mencakup pengertian
pencapaian penerangan sempurna. Buddha dalam hal ini bukanlah sebagai pribadi
orang tetapi kesucian itu sendiri. Namun demikian Buddha sebagai pribadi Buddha
Gotama juga dihormati karena beliau adalah guru, penunjuk jalan menuju
kepembebasan, pembimbing manusia hingga tercapainya Nibbana.
b) Dhamma dihormati sebagai
obyek tertinggi karena yang dimaksud adalah kebenaran mutlak. Dhamma ini akan
menuntun orang yang melaksanakannya menuju kepembebasan.
c) Sangha dihomati sebagai
obyek tertinggi karena merupakan pasamuan para makhluk suci (Ariya Puggala)
mereka telah mencapai tujuan atau telah memasuki jalan untuk mencapai tujuan
(Nibbana), mereka menjadi contoh dari perjuangan suci.
Dengan pemusatan kepada Tiratana ini kita memusatkan pikiran
kepada satu kebenaran mutlak.
2.3 Macam-macam Penghormatan
Dalam Agama Buddha, dikenal 2 macam penghormatan atau puja,
yaitu:
1. Amisa
Pūjâ, yaitu menghormat dengan
menggunakan materi atau benda, misalnya mempersembahkan lilin, dupa, bunga, dan
lain-lain.
2. Patipati
Pūjâ, yaitu menghormat dengan
melaksanakan Dhamma, praktik sîla, samâdhi, dan pańńa.
III. Macam-macam Cetya
Terdapat empat macam cetya yang masing-masing mempunyai ciri-ciri
yaitu:
1) Dhatu Cetya adalah
bila altar terdapat relik Sang Buddha.
2) Paribhoga Cetya,
bila altar memiliki barang-barang peninggalan Buddha yang pernah digunakan oleh
Beliau, seperti jubah dan mangkuk.
3) Dhamma Cetya, bila
altar memiliki satu set lengkap Kitab Suci Tipitaka.
4) Uddessika Cetya,
bila altar hanya memiliki Buddharupang atau gambar Buddha, Siripada.
By Hendra DS
0 comments:
Posting Komentar