Minggu, 22 April 2012

Sejarah Puja


Pūjâ Ca Pūjanîyânaṁ
Etammaõgalamuttamaṁ
(Memuja Mereka Yang Patut Di Puja Adalah Berkah Utama)
__Maõgala Sutta__

I. Sejarah Puja
1.1 Sejarah Puja pada Zaman Prabuddha
Puja dalam zaman prabuddha lebih bermakna sebagai persembahan kepada para dewa. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan hewan, bahkan mengorbankan manusia kepada para dewa.
Sejarah puja kepada para dewa ini diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang akan diterima oleh manusia. Dengan alasan itu, para brahmin menciptakan sarana puja kepada dewa-dewa dengan jalan upacara-upacara kurban. Tujuannya adalah dengan kurban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak menjatuhkan malapetaka bagi manusia.
1.2 Sejarah Puja pada Zaman Sang Buddha
Puja pada zaman Sang Buddha memiliki arti yang berbeda, yaitu menghormat. Pada masa Buddha terdapat suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para bhikkhu yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha yaitu dengan membersihkan ruangan, mengisi air dan lain-lain. Setelah selesai melaksanakan kewajiban itu, mereka semua (para bhikkhu) dan umat duduk, untuk mendengarkan khotbah dari Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu mengingatnya atau menghafal agar kemanapun mereka pergi, ajaran Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya.
Pada hari bulan gelap dan terang (purnama) para bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan atau patimokkha yang harus dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh seorang bhikkhu yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul untuk mendengarkan khotbah. Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi dipertengahan antara bulan gelap dan bulan terang, mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan khotbah. Namun, bila Buddha ada di vihara, umat datang untuk mendengarkan khotbah setiap hari.
Para umat biasanya juga melakukan puja (penghormatan) kepada Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga, lilin, dupa, dan lain-lain. Namun, Sang Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dhamma yang telah Beliau ajarkan merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Sang Buddha mencegah bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.
1.3 Sejarah Puja pada Zaman Pasca Buddha
Setelah Sang Buddha Parinibanna, umat tetap berkumpul, lalu untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Sang Buddha atau merenungkan kebajikan-kebajikan Tiratana. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan kebiasaan vattha. Sebagai pengganti khotbah Buddha, para bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain yang dilakukan oleh para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka mengucapkan paritta yang telah mereka hafal. Kebiasaan para bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.
Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu, sama dengan zaman Sang Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dhamma ajaran Sang Buddha sebagai penghormatan tertinggi.
II. Sarana Puja
2.1 Sarana Fisik Pelaksanaan Puja
Sarana fisik yang diperlukan dalam pelaksanaan puja meliputi:
1.   Paritta
Paritta pada pokoknya berarti perlindungan, perlindungan ini didapat dengan cara membaca atau mendengarkan paritta sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha). Pembacaan paritta menimbulkan ketenangan batin bagi mereka yang mendengarkan dan yang telah mempunyai keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang Buddha. Ketenangan itu membuat batin menjadi bahagia sehingga mampu mengatasi keresahan. Umat Buddha meyakini bahwa paritta merupakan kekuatan yang dahsyat dan selalu dapat dimanfaatkan. Meskipun demikian, paritta tidak selalu mampu menghasilkan perlindungan serta berkah sesuai yang dikehendaki. Pembacaan paritta tidak berhasil karena ada 3 sebab, yaitu halangan kamma (ada kamma-kamma tertentu yang tidak dapat dihalangi dengan kekuatan apapun), halangan kekotoran batin (batin orang yang dibacakan paritta atau batin orang yang membaca paritta diliputi oleh keragu-raguan, nafsu, dan lain-lain), dan kurang keyakinan kepada kemanjuran paritta itu.
1.   Vihara
Vihara merupakan tempat untuk melaksanakan puja, biasanya merupakan komplek bangunan yang lengkap, di mana setiap bangunan itu mempunyai fungsi tersendiri. Bangunan-bangunan itu diantaranya adalah: (1) Uposathagara yaitu suatu banguan induk yang digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya misalnya upacara penahbisan seseorang menjadi bhikkhu, pembacaan aturan kebhikkhuan, dan rehabilitasi kesalahan sedang dari para bhikkhu; (2) Dhammasala adalah tempat untuk pembacaan paritta, diskusi dan pembabaran Dhamma, meditasi, dan upacara-upacara lainnya. Jika tidak memungkinkan membangun dua gedung, maka Uposathagara dapat digunakan sebagai Dhammasala. Selain itu di dalam komplek vihara biasanya juga terdapt Pohon Bodhi yang mengingatkan pencapaian penerangan sempurna oleh Petapa Gotama.

1.   Altar
Altar adalah tempat untuk meletakkan lambang-lambang kesucian dan kebijaksanaan Buddha, misalnya Buddharupaÿ yang menyimbolkan nilai-nilai luhur Sang Buddha; lilin menyimbolkan penerangan yang diajarkan oleh sang Buddha; dupa melambangkan nama harum dari orang yang memiliki sila; bunga melambangkan ketidakkekalan; air melambangkan pembersihan dari segala kekotoran; buah melambangkan perwujudan rasa hormat kepada Sang Buddha.
1.   Stupa
Stupa adalah tempat untuk menyimpan relik Buddha, para Arahat siswa Buddha.
Sikap Fisik dalam melaksanakan puja biasanya adalah dengan ber-anjali (merangkapkan kedua tangan di depan dada), namakara (bersujud tiga kali dengan lima titik menyentuh lantai) ataupun padakhina (tangan beranjali, berjalan mengelilingi obyek penghormatan dari kiri kekanan, dilakukan tiga kali dengan pikiran tertuju pada Tiratana.
2.2 Persiapan Batin
Baik perseorangan atau kelompok, maka yang melaksanakan puja pelu mempersiapkan batinnya untuk dipusatkan kepada obyek tertinggi yaitu Tiratana.
a)      Buddha dihormati sebagai obyek tertinggi karena kata Buddha yang dimaksud adalah mencakup pengertian pencapaian penerangan sempurna. Buddha dalam hal ini bukanlah sebagai pribadi orang tetapi kesucian itu sendiri. Namun demikian Buddha sebagai pribadi Buddha Gotama juga dihormati karena beliau adalah guru, penunjuk jalan menuju kepembebasan, pembimbing manusia hingga tercapainya Nibbana.
b)      Dhamma dihormati sebagai obyek tertinggi karena yang dimaksud adalah kebenaran mutlak. Dhamma ini akan menuntun orang yang melaksanakannya menuju kepembebasan.
c)      Sangha dihomati sebagai obyek tertinggi karena merupakan pasamuan para makhluk suci (Ariya Puggala) mereka telah mencapai tujuan atau telah memasuki jalan untuk mencapai tujuan (Nibbana), mereka menjadi contoh dari perjuangan suci.
Dengan pemusatan kepada Tiratana ini kita memusatkan pikiran kepada satu kebenaran mutlak.
2.3 Macam-macam Penghormatan
Dalam Agama Buddha, dikenal 2 macam penghormatan atau puja, yaitu:
1.   Amisa Pūjâ, yaitu menghormat dengan menggunakan materi atau benda, misalnya mempersembahkan lilin, dupa, bunga, dan lain-lain.
2.   Patipati Pūjâ, yaitu menghormat dengan melaksanakan Dhamma, praktik sîla, samâdhi, dan pańńa.

III. Macam-macam Cetya
Terdapat empat macam cetya yang masing-masing mempunyai ciri-ciri yaitu:
1)      Dhatu Cetya adalah bila altar terdapat relik Sang Buddha.
2)      Paribhoga Cetya, bila altar memiliki barang-barang peninggalan Buddha yang pernah digunakan oleh Beliau, seperti jubah dan mangkuk.
3)      Dhamma Cetya, bila altar memiliki satu set lengkap Kitab Suci Tipitaka.
4)      Uddessika Cetya, bila altar hanya memiliki Buddharupang atau gambar Buddha, Siripada.

By Hendra DS


0 comments: